Ketika saat itu,saat Levin tak bisa lagi memendam
amarahnya….
“Bolehkah kukatakan betapa aku membencimu?” Levin berteriak
frustasi kepadaku, aku tak menjawabnya, hanya menatapnya wajahnya yang tak lagi
terlihat jelas, seakan dia berada di tempat yang hanya memiliki cahaya temaram,
seakan aku melihatnya dari balik kaca berembun, seakan dia orang yang kuintip
dari balik lubang kunci, tapi dia disini, dihadapanku, tengah menggengam
tanganku, sementara aku terbaring kaku di tempat tidur tak nyaman, terkurung di
ruang putih yang kubenci. “Kenapa memilih menderita sendiri?” Dia
menyalahkanku, kupikir itu bijaksana, meninggalkannya dengan dunia yang
disukainya, karena orang yang kucinta tak ingin kuajak dalam derita.
“Aku hanya ingin tersenyum dihadapanmu ” aku mencoba tertawa
dalam sisa tenaga yang makin melemah. Levin terlihat menunduk,kufikir dia
mengerti apa maksudku. “kau tak tau betapa aku merindukanmu?” ucap Levin yang
mulai mengenggam tanganku.
“Tapi aku tak merindukanmu”Aku melepas tanganku dari
genggamannya. “Boleh minta sesuatu?”
“Apapun” kini tangannya seolah tak peduli, sekali lagi dia
menggenggam tanganku.
“Boleh berhenti mencintaiku?” aku memaksa diri menciptakan
senyum dibibirku.
“Takkan pernah” dia marah. “Aku mencarimu! Kemana-mana! Dan
setelah bertemu dengan mudahnya kamu memintaku berhenti mencintaimu!”
“Aku tak bisa lagi menemanimu…tak dapat lagi hidup lebih
lama”
“Apa yang kamu rasa?”
“Aku akan pergi sebentar lagi” ucapku terengah.
Levin tak menatapku saat kata-kata itu membunuh harapannya,
dia memalingkan wajahnya dan memilih menatap ke arah jendela. Sejujurnya aku
tak menyadari sejak kapan dia di sini, karena aku baru saja menyadarkan diri.
“Boleh minta satu hal?” pintaku lagi “Temani aku menikmati senja,kumohon
bersamamu” aku tau Levin takkan mengecewakanku.
Aku selalu suka menikmati senja, membawa harapan, pertanda
hari itu akan berganti malam, aku selalu bahagia saat aku masih bisa merasakan
indah senja dari sela-sela jendela kamar perawatanku, tapi hari ini, aku dan
orang yang kupikir akan kutinggalkan dan takkan pernah merasa kehilanganku tengah
bersamaku, menunggu tenggelamnya bola cahaya raksasa itu…
“Kita sudah melewatinya…” bisikku lirih
“Apa?” tanya Levin, sekarang tangan kami saling menggenggam
seakan tak ingin terpisahkan, dan dia membiarkan kepalaku bersandar di bahunya.
“Waktu tergelap” Jawabku pelan lalu kami terdiam karena mata
kami tengah menikmati senja nan indah, yang entah mengapa kini terasa begitu
hangat.
“Waktu tergelap terjadi tepat sesudah matahari itu tenggelam”
aku berkata lagi, tapi suaraku terdengar semakin melemah, tapi aku tau aku
mampu mengucapkan hal-hal yang ingin kukatakan.
“Aku sudah melewati saat itu” Ada nada bangga seakan aku
bocah kecil yang berhasil pertama kali melangkahkan kaki kedepan untuk berjalan
menghampiri bunda. Levin mempererat genggaman tangannya seakan takut aku akan
melepaskannya.
“Pernah menyadari bagaimana hidup ini berjalan?” Aku
merasakan bahu Levin terguncang, dan aku merasakan ada cairan hangat yang
meleleh dipipiku yang kuabaikan, aku merasa telah kehilangan seluruh tenagaku,
tapi aku harus mengatakannya, aku menguatkan diri dan memaksa untuk terus
bicara.
“Kita menyimpan sebuah harapan yang kita harap nanti agar
terkabulkan… walau kadang ada keraguan, seakan harapan itu takkan pernah
terwujudkan, tapi pada akhirnya harapan itu menjadi nyata… seperti saat aku
menunggu seseorang yang tepat yang kupikir takkan pernah datang, kamu tau itu siapa?
Itu kamu!” Kali ini Levin melepaskan genggamannya dan mendekapku, seakan aku
ingin dijaga selamanya “Kemudian setelah hal itu terjadi segalanya seakan
berakhir, seakan…hanya ada satu hal yang paling kamu inginkan, melebihi apapun,
mengulangnya lagi, seperti memutar memori itu ke belakang, dan memutarnya dari
awal, kembali pada peristiwa sebelum harapan itu termiliki…tapi aku tau tak ada
waktu untuk mengulangnya lagi”
“jika nanti suatu saat kamu merindukanku,buka jendelamu
setelah senja berakhir,tataplah bulan yang sedang bersinar,bicaralah
seakan-akan kamu tau aku sedang mendengarkan lirihmu..”
Aku terengah seakan kata-kata itu menghisap habis tenagaku
detik demi detik, tapi aku tau aku telah mengatakannya, dan merasa bahagia saat
menatap kemilau indahnya senja di saat terakhir dibatas waktuku, di tempat
ternyaman di dunia, disamping orang yang kusayangi, tak ada penyesalan hanya
ada senyuman karena aku pergi dengan tenang.
0 komentar:
Post a Comment